MENYIAPKAN ANAK MENJADI 'KAYA' (BELAJAR DARI NABI IBRAHIM 'ALAIHI AS SALAM)


Abu Umay


Takaran kebahagiaan bagi sebagian orang adalah harta yang dapat dibanggakan kilauan atau wujud mewahnya. Bagi sebagian orang, kebahagian adalah mensyukuri apa yang dapat dimakan, dipakai dan dihuni. Tapi sadarkah kita ada satu kebahagiaan yang dapat kita rasakan kilauan dan wujudnya serta dapat disyukuri keberadaannya sampai hari dibangkitkan nanti? Ya, dia adalah anak...

Dalam Islam, posisi anak bagi kedua orang tuanya ada dua peran. Pertama, sebagai penyejuk jiwa, penentram hati.


"Ya Rob kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati…" (QS. Al Furqan: 74)

Yang kedua, sebagai generasi penyambung yang melanjutkan tugas perjuangan dan cita-cita orang tua.
"Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, Ya Robku, seorang yang diridhai". (QS. Maryam: 5-6)

Tak sekedar itu, anak juga penyambung tenaga di waktu orang tua menjadi renta dan tak berdaya. Bahkan anak bisa menjadi penyambung pahala ketika orang tua terbujur di alam kubur.
Menilik peran anak yang begitu penting, seharusnya anak menjadi aset yang sangat berharga. Bukti yang menandakan bahwa kita telah merasakan anak sebagai aset penting, yaitu jika kita khawatir mereka menjadi generasi yang lemah.

Dan hendaklah takut (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap keadaan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” [QS. An-Nisa: 9]

Ayat ini disebutkan dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang harta warisan. Logika awam kita memahami bahwa ayat ini menganjurkan agar kita mewariskan banyak harta agar anak-anak sepeninggal kita tidak menjadi generasi lemah ekonomi yang terlantar. Cara berpikir seperti tidak salah karena Nabi r sendiri bersabda, 

"Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada meninggalkan mereka miskin yang mengemis kepada orang lain" (HR. Bukhari, 2742)
 
Namun yang menarik, solusi untuk mengusir kecemasan terhadap anak-anak bukan dengan logika materi. Kita sama sekali tidak diperintahkan oleh Allah untuk berinvestasi sebanyak-banyaknya. Yang dititah Allah justru; para orang tua menambah bekal taqwa dan kejujuran!

Dengan demikian, langkah awal untuk melahirkan anak yang sholih adalah memperbaiki diri kita sebagai orang tua yang sholih. Insya Allah, kehidupan dunia mereka terjamin sepeninggal kita!

Dalam memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak, kita menemukan figur ideal yang terbukti sukses sehingga diantara anak keturunannya banyak diangkat Allah sebagai nabi. Dialah Abul Anbiya', Nabi Ibrahim Al Khalil.

Ada keteladanan pada diri Nabi Ibrahim dalam menyiapkan anak-anak yang sholih.

Berdo'a

Nabi Ibrahim berdoa saat merindukan kehadiran buah hati. "Ya Robku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh" (QS. Ash Shofat: 100)
Inilah senjata pertama sebelum usaha yang lain. Senjata ini kita gunakan bahkan jauh sebelum kelahiran anak. Berdo'a sebuah bukti bahwa kita mengandalkan Allah. Hanya Allah yang menggenggam hati manusia, membolak-balikkannya menjadi baik atau buruk. Maka kepada Allah kita meminta agar menjadikan anak kita anak-anak yang sholih.

Lebih mencintai Allah dari pada anaknya sendiri

Nabi Ibrahim tentu sangat mencintai Ismail putra pertamanya yang lahir setelah sangat lama ditunggu. Namun kecintaan yang melimpah kepada anaknya tidak menggeser sedikitpun kecintaannya kepada Allah. Terbukti, saat Allah menguji untuk berpisah dan meninggalkannya di lembah Mekah yang tandus, dia rela melepaskannya. Bahkan saat dititah menyembelihnya, beliau siap melakukannya. Inilah keteladanan yang banyak kita lalaikan. Tidak sedikit seorang ayah justru berani melanggar hukum Allah karena anak. Korupsi, sibuk mencari nafkah hingga meninggalkan shalat lima waktu dan tidak sempat menghadiri majlis ilmu, semua dilakukan dengan dalih cinta kepada anak. Allah menyebut dalam Surat At taubah: 24, bahwa type orang tua yang lebih mencintai anak hingga mengabaikan Allah, Rasul-Nya, dan jihad fi sabilillah seperti ini adalah fasiq. Sangat sulit  orang fasiq 'melahirkan' anak sholih. Bukankah kepiting yang berjalan miring tak bisa mengajari anaknya berjalan lurus?

Mendahulukan kepentingan akhirat dari pada keuntungan duniawi

"Ya Rob kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rob kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS. Ibrahim: 37)

Nabi Ibrahim tega menempatkan anak dan istrinya di lembah Mekah yang gersang, tidak ada air, tidak ada tumbuhan, tidak ada kehidupan! Tapi yang menjadikan beliau tetap tenang adalah meski Mekah pada waktu itu tidak menjanjikan materi dunia namun di situlah ada rumah Allah yang suci. Sehingga anaknya dekat dengan rumah Allah dan dapat beribadah. Dengan pertimbangan ini, beliau tega menempatkan anak istrinya di tempat yang tandus. Nabi Ibrahim yakin, bahwa ketika memperhatikan akhirat anaknya, Allah akan memenuhi kebutuhan duniawinya. Begitu yakinnya terhadap pertolongan Allah, hingga beliau meminta kepada Allah sesuatu yang 'aneh'. Di tempat yang tandus tanpa pepohonan, beliau malah meminta buah-buahan untuk anaknya. Dan keyakinan itu benar-benar terwujud!

Pelajaran lain, termasuk kewajiban orang tua menempatkan anak di lingkungan yang baik. Yang mendukungnya tumbuh menjadi orang yang bertaqwa.

Memperhatikan shalat

Nabi Ibrahim berdo'a, 

"Ya Robku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat". (QS. Ibrahim: 40)

Shalat adalah ibadah yang sangat penting. Dia menjadi barometer keimanan, dan penentu timbangan amal kebaikan yang lain. Kalau shalat baik maka amal lain ikut menjadi baik. Maka hal utama yang kita ajarkan kepada anak adalah shalat. Nabi Muhammad r bersabda, "Perintahkanlah anakmu untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah jika meninggalkannya ketika mereka berusia sepuluh tahun…" (HR. Ahmad)

Memberikan rizqi yang baik lagi halal

Mengais rizki merupakan kewajiban orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya. Rizki yang diberikan tentu rizki yang baik, halal, dan berkah. Keberkahan rizki itu akan terlihat jika yang mengkonsumsinya menjadi pandai bersyukur kepada Allah. Tubuh yang kuat karenanya mudah mengerjakan ketaatan.

"…beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur". (QS. Ibrahim: 37)

Ada kaitan erat antara makanan dengan perilaku anak. Ahli hikmah mengatakan, "Kamu adalah apa yang kamu makan". Makanan yang baik akan membentuk karakter yang cenderung kepada kebaikan pula. Demikian pula sebaliknya. Inilah isyarat yang kita tangkap dari firman Allah,

"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh…" (QS. Al Mukminun: 51)

Allah menggandeng perintah beramal sholih setelah perintah untuk makan makanan yang baik. Ini artinya; makanlah yang baik agar mudah beramal kebaikan. Maka, jika kita menghendaki anak yang sholih, pastikan setiap makanan yang mereka konsumsi adalah halal dan bergizi.

Inilah keteladanan Nabi Ibrahim yang dapat kita petik hikmahnya. Semoga kita sukses menyiapkan anak yang kaya; kaya ilmu, kaya iman, kaya amal, kaya manfaat, kaya dunia dan akhirat.


No comments

Powered by Blogger.